Tuesday, July 5, 2011

Perjuangan Menegakkan Panji Reggae di Indonesia

Ketika gerakan legalisasi ganja di indonesia menyingsing pada pekan pertama Mei 2011 lalu -- tidak terlalu lama berselang setelah perayaan May Day yang pernah dilarang keras pada zaman Orde Baru -- dan sukses mencuri perhatian masyarakat serta media massa, apa yang pertama kali terbit di dalam diri saya bukanlah sebuah impuls untuk bersikap pro ataupun kontra. Melainkan terkesima seperti sedang menyaksikan sekelompok orang berkeyakinan berbeda dari masyarakat pada umumnya, yang memperjuangkan sebuah utopia menjadi nyata.

Di mata saya, gerakan itu seolah-olah sebuah perjuangan sekelompok pemuda antikapitalisme yang menuntut pemerintah untuk melegalkan ajaran-ajaran kiri yang terlarang di Indonesia.

Saat pertama kali mengetahui sebuah festival musik reggae yang diberi nama Indonesia Reggae Festival akan digelar di Indonesia oleh BnR Production, perasaan yang serupa tapi tak sama muncul dalam diri saya. Pasalnya, sejauh ingatan saya, reggae adalah ragam musik yang tidak mendapatkan ruang terbaik di rumah bernama ‘industri musik Indonesia.’

Siapa yang mengenal sosok pejuang musik reggae tanah air tergigih, Tony Q Rastafara? Saya jamin jumlahnya tak sebanyak mereka yang mengenal almarhum Mbah Surip. Padahal, musisi kelahiran Semarang bernama lengkap Tony Waluyo Sukmoasih yang mulai menekuni reggae sejak 1989 itulah sang motivator almarhum pemilik hit “Tak Gendong” untuk tampil ke muka publik dengan mengusung warna reggae. Dan mereka berdua sejatinya berasal dari komunitas seni yang sama, yakni Wapress (Warung Apresiasi Seni) di Bulungan, Jakarta Selatan.

“Mbah Surip itu dulu menjadi MC di acara-acara kita. Dan sewaktu kita main, beliau selalu kita paksa nyanyi. Kita kerjain dia. Sewaktu Mbah Surip bikin album, beliau bikin album model Pancaran Sinar Petromak. Iya, album humor seperti itu,” kata Tony saat dihubungi lewat telepon.

Dengan tingkat pengetahuan reggae masyarakat Indonesia kebanyakan yang sedemikian memprihatinkan, maka menjadi suatu upaya memperjuangkan utopia juga ketika ragam musik tersebut dijadikan tema sebuah festival. Karena pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Siapa yang akan menonton jika selama ini reggae menjadi anak tiri di rumah sendiri?

No comments:

Post a Comment