Tuesday, July 5, 2011

Dansa Rasta Di Bogor…

Setelah event Tropical Nite di GOR Pajajaran beberapa waktu lalu, acara reggae kembali hadir mengusik wajah pecinta musik Bogor. Musik jenis ini tampaknya memang tengah menjadi isu hangat di kalangan komunitas muda selain jazz. Banyaknya musisi papan atas yang mulai melirik aliran ini sepertinya menjadi tanda untuk ber-reggae mania. Band indie yang mengambil genre ini juga cukup sukses diminati pasar pecinta musik tanah air. Tak salah jika akhirnya kota hujan dihujani kaum rasta (sebutan penikmat musik reggae). Seperti halnya yang terjadi di Taman Ade Irma Suryani atau lebih dikenal dengan taman Topi minggu 15 april 2007. Puluhan rastaman berdansa ria menikmati pesta musik yang bertajuk ‘Holiday Reggae and Ska’, bergabung dengan pogo-nya rudeboy (sebutan pecinta musik Ska). Ciri rambut gimbal, kaos oblong lusuh, celana jins belel, sepatu kets butut yang menjadi stereotip rastaman selama ini tampaknya kini tidak menjadi patokan lagi. Yang penting bisa menangkap soulnya reggae, tidak masalah kalau tidak gimbal. Mereka tetap asyik menikmati musik dari jamaica yang masuk ke Indonesia sejak 1970-an ini.
“Ide awalnya adalah untuk mengumpulkan komunitas reggae yang ada di Bogor”. Tutur Erik salah seorang panitia.
“Kita ingin sesama penikmat reggae dapat bertemu dan saling mengenal. Karena selama ini saya sendiri tidak banyak tahu tentang komunitas reggae di Bogor”. Lanjutnya ketika dikonfirmasi tentang komunitas reggae di Bogor.
Menurut Erik yang juga salah seorang personil Band Reggae, Bogor banyak menyimpan potensi musik. Dengan adanya event reggae ini harapannya Bogor lebih ramai, asyik dan bervariasi musiknya. Dan dorongan untuk ber-reggae mania juga disambut komunitas reggae di sekitar Bogor seperti Depok, Bekasi dan Jakarta. Secara khusus dalam suatu kesempatan Tony Q (tokoh reggae lokal) berharap munculnya kreatifitas reggae di Bogor
“Reggae ini cocok untuk Bogor yang damai…musiknya lebih santai, mudah berdamai dengan aliran lain”. Tambah salah satu penggemar rasta Bogor
Event yang digelar Ingram Production ini menampilkan 11 band performer. Dimulai pukul 9.30 acara langsung digeber dengan penampilan band ska dan reggae. Tampilnya Cooktails, Heart Voice, Non Skid, Green Underwear dan 2nd oof The 1st sebenarnya sudah berusaha maksimal memanaskan suasana. Selepas ‘dhuhur’ ditengah cuaca yang tampak ramah, pertunjukan makin menghangat dengan tampilnya The Herb dilanjutkan performance menarik dari Jamaican Soul (Band reggae Depok yang diundang meramaikan acara). The Fictive juga tidak kalah menariknya merayu audience untuk merapat ke panggung, berdansa dan bersalam rasta. Hal yang sama juga dilakukan My Reggae dan Not For Child. Yang disebut terakhir ini membawakan irama ska untuk memberi kesempatan rudeboy ber-pogoact.
Ditutup dengan penampilan Sireum Ateul yang juga merupakan band reggae lama di Bogor. Rastaman dimanjakan dengan lantunan karya paman Bob (Bob Marley), UB40 dan beberapa karya reggae lokal.

Reggae yang Tidak Harus Rasta : Reggae dan rasta


Di Indonesia, reggae hampir selalu diidentikkan dengan rasta. Padahal, reggae dan rasta sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda. "Reggae adalah nama genre musik, sedangkan rasta atau singkatan dari rastafari adalah sebuah pilihan jalan hidup, way of life," ujar Ras Muhamad (23), pemusik reggae yang sudah 12 tahun menekuni dunia reggae di New York dan penganut ajaran filosofi rasta. Repotnya, di balik ingar-bingar dan kegembiraan yang dibawa reggae, ada stigma yang melekat pada para penggemar musik tersebut. Dan stigma tersebut turut melekat pada filosofi rasta itu sendiri. "Di sini, penggemar musik reggae, atau sering salah kaprah disebut rastafarian, diidentikkan dengan pengisap ganja dan bergaya hidup semaunya, tanpa tujuan," ungkap Ras yang bernama asli Muhamad Egar ini. Padahal, filosofi rasta sesungguhnya justru mengajarkan seseorang hidup bersih, tertib, dan memiliki prinsip serta tujuan hidup yang jelas. Penganut rasta yang sesungguhnya menolak minum alkohol, makan daging, dan bahkan mengisap rokok. "Para anggota The Wailers (band asli Bob Marley) tidak ada yang merokok. Merokok menyalahi ajaran rastafari," papar Ras.

Ras mengungkapkan, tidak semua penggemar reggae adalah penganut rasta, dan sebaliknya, tidak semua penganut rasta harus menyenangi lagu reggae. Reggae diidentikkan dengan rasta karena Bob Marley—pembawa genre musik tersebut ke dunia adalah seorang penganut rasta.

Ras menambahkan, salah satu bukti bahwa komunitas reggae di Indonesia sebagian besar belum memahami ajaran rastafari adalah tidak adanya pemahaman terhadap hal-hal mendasar dari filosofi itu. "Misalnya waktu saya tanya mereka tentang Marcus Garvey dan Haile Selassie, mereka tidak tahu. Padahal itu adalah dua tokoh utama dalam ajaran rastafari," ungkap pemuda yang menggelung rambut panjangnya dalam sorban ini.
Pemusik Tony Q Rastafara pun mengakui, meski ia menggunakan embel-embel nama Rastafara, tetapi dia bukan seorang penganut rasta. Tony mencoba memahami ajaran rastafari yang menurut dia bisa diperas menjadi satu hakikat filosofi, yakni cinta damai. "Yang saya ikuti cuma cinta damai itu," tutur Tony yang tidak mau menyentuh ganja itu.
Namun, meski tidak memahami dan menjalankan seluruh filosofi rastafari, para penggemar dan pelaku reggae di Indonesia mengaku mendapatkan sesuatu di balik musik yang mereka cintai itu. Biasanya, dimulai dari menyenangi musik reggae (dan lirik lagu-lagunya), para penggemar itu kemudian mulai tertarik mempelajari filosofi dan ajaran yang ada di baliknya.
Terhitung ada 50 band dari ujung barat Indonesia, sampai papua. Dan acara yang digelar hari Sabtu, tanggal 21/05/2011 ini juga membuat berbagai komunitas yang bersinggungan dengan reggae. Di parkiran PRJ kemayoran banyak terlihat rombongan scooter, motor tua Inggris, sampai Harley Davidson.

 Festival Reggae ini mengandalkan 2 panggung besar sebagai penarik pengunjung. Nama-nama band yang besar di daerah bisa dinikmati disini. Seperti Richard The Gillis, yang sempat berkeliaran di Jakarta namun akhirnya memilih menetap di Gilli Trawangan, Lombok. Masih dari Lombok ada S2B, yang kabarnya hampir tiap hari menghibur turis yang berkunjung ke Gilli Trawangan.

 Joni Agung & Double T yang identik dengan reggae bar Apache di Legian, Bali juga hadir dengan beberapa lagu berbahasa Bali. Dan masih banyak lagi dari berbagai kota di Indonesia.
 Mereka berbagi panggung rata dengan nama-nama yang lebih dikenal seperti Tony Q, Steven Jam, Gangsta Rasta, Ras Muhamad, Ray D' Sky dan Shaggy Dog.
Dan juga penampilan spesial dari Iwan Fals, yang dengan gagah tampil sendirian diatas panggung membawakan lagu-lagunya dengan sentuhan reggae. 
  Bukan cuma band-nya yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia. Di dalam venue, terlihat beberapa tenda yang digelar oleh penonton yang datang dari luar kota. Memet, manager Shaggy Dog mengaku cukup pusing untuk menjelaskan lokasi venue kepada beberapa Doggies yang datang naik motor dari jawa tengah dan timur.

 Mustinya, suasana event ini bisa lebih seru kalau tidak hanya mengandalkan panggung. Mungkin lebih seru kalau saja di area peristirahatan ada bengkel dreadlock, tattoo, scooter dan berbagai element yang ada di kultur reggae. Tidak hanya makanan dan minuman seperti pensi. Kalau merchandise berupa t-shirt dan pernak pernik reggae sih terlihat hadir.

 Di luar itu, acara ini bisa dibilang dahsyat. Rundown acara yang mustinya selesai jam 24.00, terganggu dengan pidato Presiden RI yang menghadiri acara Waisak di bagian lain PRJ Kemayoran. Sehingga acara musti dihentikan cukup lama. Dahsyatnya bukan itu, tapi penonton tetap memadati venue menikmati band-band yang main dengan berbagai cara mereka. Sampai jam 02.00 dini hari, masih lebih dari separuh venue ikut berdansa bersama Shaggy Dog yang tampil setelah Big Mountain.

 Sementara penampilan Big Mountain malam itu paling terasa saat mereka membawakan Carribean Blue, Baby I Love Your Way dan encore One Love (Bob Marley).
 

tony Q

SELALU ada berita baru tentang reggae dari Tony Q Rastafara. Selalu ada album atau master musik reggae di dalam tas kecilnya yang akan diperlihatkan kepada orang yang tertarik mencari tahu apa yang kini dikerjakannya. Atau sebuah buku, Bob Marley: Rasta, Reggae, Revolusi yang agak lusuh karena sering dibaca dari tangan ke tangan, dibahasnya bersama beberapa kawan di Warung Apresiasi (Wapres), Bulungan kebetulan dia memberi komentar singkat di sampul belakang. Tony Q, memang reggaeman yang bersemangat!

Kadang dia menghilang dari Jakarta beberapa bulan untuk melakukan konser di beberapa kota di Jawa dan Bali. Biasanya digelar di kampus-kampus, atau bar dan cafe. Kadang langkahnya panjang hingga mancanegara, “Aku mau berangkat ke Aus, nih!” katanya lewat telepon seluler, suatu kali. Maksudnya pergi ke Australia untuk melakukan mixing di Sound Warp untuk album barunya, Anak Kampung, yang akan dirilis dalam waktu dekat ini.
Selama tigapuluh tahun karir musiknya, Fullwood pernah bekerjasama dengan Bob Marley, Peter Tosh, Black Uhuru, Gregory Isaacs hingga The Mighty Diamondas. Setahun yang lalu, Fully Fullwood dan kawan-kawannya di band Tosh Meets Marley sempat melakukan tur konser di Pekan Raya Jakarta (PRJ) dan Bali. Di belakang panggung konser, Tony Q diperkenalkan kepada Fully Fullwood dan kawan-kawan, serta manajer Mark Miller.
Tiba-tiba saja scene reggae di tanah-air heboh melihat kedekatan Tony Q dengan Fully Fullwood yang kemudian berujung bekerjasama membuat sebuah album.

Sekembali Tony Q dari Australia, BATAVIASE NOUVELLES menemuinya di Wapres pada suatu petang. Sambil menyeruput kopi pahit dan menghisap rokok kretek dengan diselingi senda gurau, lagi-lagi Tony Q bersemangat menjawab BATAVIASE.
Dari kejadian itu, lama-lama gue baru mengerti, ternyata orang Amerika itu sangat apresiatif dengan musik reggae Indonesia. Prof. Ann, misalnya, selalu memberi gue dorongan terus berkarya. Ketika dia dengar musik gue yang ada elemen musik Sunda, Jawa atau daerah lainnya di Indonesia, dia bilang, itu musikmu enggak ada di Amerika atau Afrika.
Budaya kita kan unik, sejarahnya panjang. Dia akhirnya mengirimkan lagu-laguku kepada Putu Mayo World Record, perusahaan yang berbasis di New York. Satu lagu gue, Pat Gulipat, masuk dalam kompilasi World Reggae berjudul Reggae Playground bersama musisi reggae dunia.
Gue langsung terharu sekaligus bangga, akhirnya musik reggae Indonesia diakui secara internasional.

“It’s Influences”

Saat rekaman Jamaika telah tersebar ke seluruh dunia, sulit rasanya menyebutkan berapa banyak genre musik popular sebesar Reggae selama dua dekade. Hits - hits Reggae bahkan kemudian telah dikuasai oleh bintang Rock asli mulai Eric Clapton sampai Stones hingga Clash dan Fugees. Disamping itu, Reggae juga dianggap banyak mempengaruhi pesona tari dunia tersendiri. Budaya ‘Dancehall’ Jamaika yang menonjol plus sound system megawatt, rekaman yang eksklusif, iringan drum dan bass, dan lantunan rap dengan iringannya telah menjadi budaya tari dan tampilan yang luar biasa.Inovasi Reggae lainnya adalah Dub remix yang sudah diasimilasi menjadi musik populer lainnya lebih luas lagi.

reggae indonesia

Di indonesia sendiri,

musik ini di pelopori oleh imanez kemudian di susul oleh bung tony q. Musik yang dibawakan oleh keduanyapun sungguh kental dengan gaya-gaya musik bohemian, dengan irama real reggae, beliau sanggup mewarnai jajaran musik indonesia. Dia pun mucul sebagai pelopor band-band reggae lain, seperti steven and coconut trees yang mengusung musik reggae yang lebih modern. Jadi buat orang-orang yang masih awam dengan musik ini, janganlah berprasangka buruk kepada orang-orang yang mencintai musik ini (termasuk saya)hehehehehehe. Mungkin penampilan mereka terlihat apa-adanya dan agak berantakkan tetapi sesungguhnya dibalik itu semua terdapat filosofi-filosofi dari unsur kesederhanaan, kebebasan dan perdamaian
Kata reggae sebenarnya berasal dari logat afrika dari kata “ragged” yaitu gerakan seperti menghentak badan saat orang menari dengan iringan musik ska atau reggae. Reggae sendiri dipengaruhi oleh musik R&B, ROCK, CALYPSO,RHUMBA serta musik khas jamaika yang disebut mento. Irama reggae sendiri berasal dari musik ska, yang cenderung memberi tekanan pada nada-nada lemah serta hentakan ritmik drum yang komplek. Tetapi ada yang membedakan musik ska dengan reggae,yaitu tempo musik reggae sedikit lebih lambat dan menonjolkan vocal yang yang berat seperti pada musik-musik chant serta diiringi oleh tetabuhan, cara menyanyi dan mistik dari rastafari.
Mengapa musik reggae itu terkesan dengan penampilan yang nggimbal ataupun lusuh? Kita telaah saja dari asal-muasal musik reggae yaitu berasal dari jalanan getho”perkampungan kaum rastafarian” di daerah jamaika. Mungkin hal itulah yang menyebabkan gaya rambut gimbal menghiasi para musisi di awal perjalanannya dan sarat dengan ajaran-ajaran rastafarian yang meng ”idealisaikan” kebebasan, perdamaian, keindahan ala dan gaya hidup bohemian.